Dari Kota Madiun ke Cornell University, Kisah Melati Mengejar Ilmu dan Mimpi Besar



MADIUN - Tak semua perjalanan menuju mimpi berjalan mulus. Ada yang penuh kerikil, tangis, dan harapan yang hampir padam. Bagi Melati Ariena Putri Ramadhani, langkah kecilnya dari Kota Madiun akhirnya membawanya ke Cornell University, salah satu kampus terbaik dunia. Ia diterima sebagai penerima beasiswa penuh LPDP, setelah melewati jalan panjang sejak duduk di bangku SD hingga menjadi dokter. 


Dulu ia kerap dibully saat sekolah. Kini, anak sulung dari tiga bersaudara itu, bersiap menempuh studi S2 di salah satu kampus yang masuk dalam daftar universitas Ivy League itu. Mimpinya tak lahir seketika. Sejak menjadi mahasiswa baru Fakultas Kedokteran UI tahun 2015, ia sudah meniatkan diri untuk bisa menempuh studi di luar negeri.


Langkah Melati dimulai dengan membangun rekam jejak atau pengalaman. “Karena menurut saya LPDP ini bukan beasiswa yang semata-mata bisa kita dapatkan karena pintar saja, tapi lebih seperti kita melamar kerja. Jadi kompetensi apa yang bisa kita tawarkan untuk program beasiswa itu,” jelasnya. 


Tak heran jika sejak menjadi mahasiswa dirinya terlibat aktif di berbagai kegiatan. Mulai dari aktif di BEM, magang di Dekanat FK UI, hingga aktif terlibat di yayasan ADHD Indonesia dan Komunitas Dokter Tanpa Stigma. 


“Saya tergabung ke komunitas itu karena memang jadi perhatian saya. Misal, kenapa yayasan ADHD, karena saya memang penyandang ADHD. Tapi tidak menyurutkan semangat saya untuk tetap berkarya,” akunya. 


Ditengah ketatnya kebijakan visa yang diterapkan Amerika Serikat, perempuan berhijab ini bisa lolos dan mendapatkan visa hanya dalam waktu dua hari. “Saya wawancara tanggal 2 Juni, visa keluar tanggal 4 Juni. Ada teman saya yang sampai sekarang masih proses visa. Padahal rata-rata perkuliahan di Amerika mulai akhir Agustus,” jelasnya. 


Untuk bisa lolos LPDP bukan hanya perjuangan secara akademik yang diperlukan. Namun juga materi. Melati mengaku banyak persiapan harus ditanggung sendiri lebih dulu termasuk biaya deposit kampus, tempat tinggal, visa, dan tes bahasa Inggris. “Saya keluar Rp 50 juta dulu, semua nanti direimburse LPDP. Tapi itu tantangan awal yang harus dilalui,” ujarnya.


Melati pun bersiap dengan matang, termasuk membawa sambal pecel dan bumbu dari rumah. “Bukan hedon, memang hidup di sana mahal,” katanya sambil tertawa.


Di balik semua pencapaian itu, Melati menyimpan luka lama. Ia pernah jadi korban bullying di SD dan SMP. Tapi ia memilih bangkit, bukan menyimpan dendam. Ia justru semakin peduli pada kesehatan mental dan inklusi. Tinggal menghitung hari, 9 Agustus nanti ia berangkat bersama dua teman untuk menempuh pendidikan. 


Baginya, LPDP bukan sekadar beasiswa, tapi kesempatan untuk menyiapkan diri menjadi pembawa perubahan. “Kamu harus tahu alasanmu sekolah, dan apa kontribusimu setelahnya. Nggak bisa asal daftar,” tegasnya.


Perempuan yang berdomisili di Griya Salak, Kelurahan Taman itu berbagi tips agar bisa lolos LPDP. “Kalau masih maba, temukan apa yang kamu peduli. Bangun rekam jejak. Ambil semua kesempatan baik itu magang, lomba, jejaring. Bahasa Inggris saya otodidak, dari baca novel pakai translatean. Nggak ada yang instan, tapi semua bisa diasah,” jelasnya. 


Ia menyadari bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah, menyesuaikan diri di negeri asing, menghadapi tantangan akademik, dan menjalani hidup jauh dari keluarga. Namun, baginya, setiap langkah layak diperjuangkan selama tujuannya membawa manfaat.

(im/kus/madiuntoday)