Dari Belanda Untuk Kota Kita



Ruang Satu 

Minggu (21/5) kemarin, saya tiba kembali di tanah air. Pun, langsung disambut kegiatan. Ada agenda Salat Isya dilanjutkan dengan istighosah di Rumah Dinas Wali Kota Madiun. Senang rasanya sampai kembali di kota kita tercinta. Perjalanan udara yang melelahkan seakan terbayar dengan apa yang telah kita dapatkan selama sepekan di Belanda.  Saya memang tidak sendiri. Ada pak ketua dewan. Juga ditemani beberapa kepala OPD. 

Ada banyak pertemuan dan tempat yang kita kunjungi. Ada banyak hal yang bisa kita bawa. Khususnya terkait dengan kota kita. Selama berada di negeri orang, saya memang masih meng-handle sejumlah pekerjaan di Kota Madiun. Ada yang secara virtual. Sebagian saya komunikasikan lewat piranti telp. Seperti rencana penyempurnaan kawasan wisata Sumber Wangi. Kawasan itu rencananya memang akan kita tambah miniatur kincir angin Belanda dan juga jam menara Big Ben, Inggris. Saya ingin itu disegerakan. Apa yang kita dapat dari Belanda langsung saya komunikasikan dengan OPD terkait di Kota Madiun. 

Saya tidak ingin pembangunan sekedarnya. Tapi harus maksimal. Karenanya, kemarin sempat ada revisi konsep rencana pembangunan kincir angin tersebut. Pembangunan sejatinya sudah masuk lelang minggu kemarin. Waktu saya masih di Belanda itu. Tetapi saya minta direvisi sedikit. Itu setelah saya melihat bentuk aslinya. Ada beberapa tempat yang saya kunjungi dan menyuguhkan kincir angin. Pertama saat berada di kota miniatur Madurodam di Scheveningen, Den Haag. Di tempat itu terdapat miniatur wilayah Belanda dengan skala 1:25. Menarik sekali. Di dalamnya, terdiri dari bangunan-bangunan khas Belanda dan landmarks seperti yang ditemukan di berbagai lokasi di negara tersebut. Tak terkecuali kincir anginnya.

Kedua, saya juga mengunjungi Zaanse Schans. Tempat ini memang terkenal karena koleksi kincir angin dan rumah kayunya. Di sana ada banyak kincir angin. Orang yang mau melihatnya sampai harus mengantri. Saya memang ingin mengadopsinya untuk di kawasan Sumber Umis. Tepatnya di sisi barat menara Eiffel. Tepat di tikungan sungai itu. Bukan di atas sungai seperti menara Eiffel. Tapi di sebelah utaranya. Memanfaatkan pedestrian yang sudah jadi itu. Saya ingin bentuknya semirip mungkin dengan aslinya. Tak heran, saya terus berkomunikasi dengan OPD terkait. Tak terkecuali foto-foto detail kincir anginnya. Foto-foto itu saya kirimkan langsung dari Belanda. 

Kincir angin di tempat kita rencananya memiliki tinggi total 15 meter. Itu kalau salah satu balingnya lurus ke atas. Sedang, tinggi bangunan rumahnya saja sekitar 12 meter. Pondasi bawahnya berbentuk segi enam dengan diameter sekitar empat meter. Bangunan rumah itu nanti bisa difungsikan untuk lapak. Jadi fungsi ekonominya dapat. Di atasnya ada semacam balkon. Pengunjung bisa naik sampai di titik itu. Selasa nanti diperkirakan sudah masuk LPSE untuk dilelang. Jika proses lancar awal Juni konstruksi sudah bisa mulai dikerjakan. Pembangunan kincir angin ini memang satu paket dengan pembangunan saluran Lodayan. Tak heran, nilainya cukup besar. Pagu anggarannya mencapai Rp 2 miliar. Pembangunan kita targetkan selesai Oktober mendatang.

Begitu juga dengan pembangunan miniatur jam menara Big Ben. Ini juga di kawasan Sumber Wangi. Juga di sebelah barat menara Eiffel. Tetapi lebih ke timur dibanding kincir angin Belanda. Menara Jam Big Ben itu rencananya memiliki tinggi 12 meter dengan diameter bawah sekitar dua meter. Pembangunan menara Big Ben ini sekaligus dengan penataan lapak di kawasan Pahlawan Religi Center (PRC). Bahkan, proses lelang sudah selesai. Nilai anggarannya mencapai Rp 3 miliar. Minggu ini pekerjaan dimulai. Pelaku UMKM di PRC juga sudah kita ajak bicara. Kita minta lapak untuk dikosongkan dulu. Pekerjaan memang beriringan dengan pembangunan menara jam Big Ben itu. Kawasan itu akan semakin menarik ke depan.

Selama di Belanda saya juga banyak melihat tentang penataan kawasan wisata. Tempat wisata di sana tidak hanya menyuguhkan kuliner dan produk kerajinan lokal. Tetapi ada jasa foto studio lengkap dengan kostum khas. Konsep menarik itu saya lihat saat mengunjungi desa nelayan Volendam di Amsterdam. Di desa tersebut terdapat satu kawasan yang menarik. Ada kawasan pedestrian seperti di Sumber Wangi yang menawarkan beragam produk. Bedanya, ada jasa studio foto tadi. Wisatawan yang mau foto sampai harus mengantri. Di studio itu tidak sekedar foto lantas selesai. Ada pakaian sampai pernak-pernik khas. Ini bisa kita tiru di Sumber Wangi. Bedanya nanti, pakaian dari beberapa negara. Apalagi, kita sudah punya kawasan enam negara dan kampung eropa. Biar yang berkunjung semakin terkesan.

Sesuai semangat awal kunjungan kerja program Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) di Belanda, saya bersama sejumlah kepala daerah yang turut dalam kunjungan itu juga mengejar arsip penting untuk daerah masing-masing. Setiba di sana kita langsung mengunjungi Kantor Arsip Nasional Belanda. Banyak hal yang kita diskusikan terkait upaya mendapatkan arsip itu. Begitu juga saat kita berkunjung ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda. Alhamdulillah, pak Dubes siap menindaklanjuti. Menggali sejarah memang tidak mudah dan perlu waktu. Karenanya, kita jalin kerja sama dengan pihak terkait untuk menindaklanjuti arsip-arsip itu. Tak terkecuali soal arsip lorong bawah tanah di jantung kota kita. 

Setiap kali kunjungan memang harus dimaksimalkan. Harus bisa menggali ide dan konsep untuk kemajuan kota kita ke depan. Kota kita sudah banyak mengalami perubahan. Pun, sudah terbukti menarik dengan banyaknya wisatawan yang datang. Ke depan, ini akan kita sempurnakan. Salah satunya, dengan menggali ide dari berbagai belahan dunia. 

Penulis adalah Wali Kota Madiun Drs. H. Maidi, SH, MM, M.Pd