Makanan-Minuman Legendaris di Kota Pendekar (3)



Soto Pasar Kawak Ada Sejak Kereta Uap Beroperasi, Harga Pernah di Bawah 100 Rupiah Seporsi 


MADIUN – Berbicara soal makanan legendaris di Kota Madiun, kurang lengkap jika belum mengulas soto pasar kawak. Bagaimana tidak, keberadaan soto daging dengan lauk tambahan jeroan itu sudah ada sejak tahun 1967. Era dimana kereta uap masih beroperasi di Kota Pendekar. Keberadaannya masih eksis sampai sekarang.


‘’Saya sudah generasi ketiga. Awalnya dulu dari nenek ke ibu saya, terus sekarang ke saya,’’ kata Kanti Rahayu, Senin (9/1).


Soto pasar kawak memang legendaris. Pun, sudah cukup dikenal. Masyarakat Kota Madiun khususnya mereka yang sudah berusia lanjut kebanyakan pasti mengetahuinya. Mulai dari masyarakat biasa hingga para pejabat merupakan pelanggan setianya hingga sekarang. Kanti memang tidak pernah mengubah resep turun temurun warisan keluarganya itu. Tak ayal rasanya masih sama. Hal itu diketahui Kanti dari sejumlah komentar para pelanggannya. 


‘’Memang tidak diubah. Dari dulu ya seperti ini. Karenanya, banyak yang bilang kalau rasanya juga masih sama seperti dulu,’’ ungkap perempuan 55 tahun itu.


Namun, diakuinya ada perubahan dari segi tempat. Kanti menyebut era neneknya dulu, biasa berjualan di pojok belakang pasar kawak. Tepatnya, di bawah pohon asem. Sekarang lokasi itu sudah menjadi bagian dari kawasan SMPN 2 Kota Madiun. Neneknya mulai berjualan tahun 1967. Di kala itu kereta uap Madiun-Ponorogo masih melintas di kawasan tersebut. Pasar kawak bisa dibilang kawasan elit pusat kota. Tempat yang ramai. Karenanya, neneknya memilih berjualan di kawasan tersebut. 


‘’Dulu jualan di kuali dan dipikul dari rumah di Jalan Podang. Ada tetangga yang membantu memikul. Tapi jualannya ya di bawah pohon asem itu,’’ katanya sembari menyebut neneknya bernama Sumiati. 


Kanti menyebut harga seporsi soto diwaktu itu tidak lebih dari 100 rupiah. Seiring berjalannya waktu pasar kawak mengalami beberapa kali renovasi. Hingga akhirnya ada penataan pedagang tak terkecuali soto milik neneknya. Namun, Kanti tak mengetahui pastinya. Saat dirinya mulai membantu berjualan, tempatnya sudah di dalam pasar seperti sekarang. Pun, yang berjualan sudah digantikan ibunya yang juga bernama Sumiati. 


‘’Nama nenek dan ibu saya sama. Saya mulai bantu-bantu berjualan mulai tahun 1989. Harga soto pada waktu itu sudah Rp 3 ribu kalau tidak salah,’’ jelasnya.


Sekarang, seporsi soto miliknya seharga Rp 13 ribu. Dia juga dibantu anaknya yang rencananya juga bakal menggantikan dirinya berjualan. Kanti nyaris tidak pernah libur dan biasa buka dari mulai pukul 07.00 sampai 14.00. Libur hanya dua kali sebulan dengan waktu yang tidak menentu. Sebab, masih banyak pelanggannya yang setia sampai sekarang. Dalam sehari dia biasa menghabiskan 15 kilogram daging, 15 kilogram beragam jeroan, dan 10 kilogram beras. 


‘’Pelanggan saya yang dari luar kota juga banyak. Kebanyakan warga yang merantau. Kalau pas pulang, pasti mampir. Mulai dari Bandung, Jakarta, sampai Jambi dan Riau,’’ ungkapnya. 


Kanti mengaku sejatinya tidak ingin meneruskan berjualan soto. Bahkan, dia pernah mendaftar menjadi polisi namun gagal. Sang kakek memang seorang TNI. Namun, pada akhirnya Kanti memutuskan membantu ibunya berjualan dan menikmatinya. Cara yang sama juga diterapkan kepada putrinya. Dia mulai melibatkan anak perempuannya untuk membantu berjualan. Harapannya, usaha jualan soto itu tetap eksis ke depan. 


‘’Ini warisan turun-temurun sudah seharusnya dijaga. Kasihan juga para pelanggan yang sudah setia,’’ pungkasnya. (rams/agi/madiuntoday)