Kecanduan Berita Buruk? Waspada Doom Scrolling



MADIUN - Fenomena doom scrolling atau kebiasaan membaca berita buruk tanpa henti kian sering ditemui di era digital. Aktivitas yang tampak sepele ini ternyata dapat memicu rasa takut, cemas, hingga stres berkepanjangan. Ponsel yang selalu berada di genggaman membuat perilaku ini muncul tanpa disadari.


Sering kali, seseorang membuka ponsel hanya untuk melihat notifikasi, namun berakhir tenggelam dalam rangkaian kabar negatif. Konflik, kriminalitas, bencana, dan perdebatan sosial memenuhi lini masa. Semakin sering seseorang melihat konten negatif, semakin besar dorongan untuk mencari lebih banyak, menciptakan lingkaran kecemasan.


Desain media sosial turut memperparah kondisi. Algoritma mempertahankan perhatian pengguna dengan menyajikan konten serupa dari interaksi sebelumnya. Ketika pengguna sering membaca berita bernada muram, sistem akan menampilkan lebih banyak lagi. Ruang digital pun menjadi sumber tekanan mental, bukan hanya akibat pilihan pengguna, tetapi juga pola kerja platform.


Secara psikologis, manusia cenderung lebih peka terhadap informasi negatif. Sensitivitas ini warisan evolusi, namun dalam konteks digital justru kontraproduktif. Paparan berulang terhadap kabar buruk bisa memicu kelelahan emosional, sulit tidur, hingga kecemasan yang meningkat.


Dampaknya juga terasa secara sosial. Persepsi publik terhadap dunia menjadi lebih suram dari kenyataan. Kepercayaan menurun, optimisme melemah, dan polarisasi kian mudah terjadi. Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat memengaruhi nalar publik dan kesehatan demokrasi.


Untuk meredam dampak doom scrolling, literasi digital emosional menjadi kunci. Individu perlu memahami bagaimana konten memengaruhi emosi, mengenali tanda stres digital, dan menetapkan batasan waktu mengakses media. Kurasi konten yang lebih positif juga dapat membantu menyeimbangkan alur informasi.


Platform digital turut memiliki tanggung jawab menciptakan ekosistem yang lebih sehat. Algoritma perlu diperbaiki agar tidak hanya mengejar interaksi, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan pengguna. Dengan kolaborasi antara individu, masyarakat, dan penyedia platform, ruang digital dapat menjadi tempat yang lebih aman bagi kesehatan mental.

(Dspp/kus/madiuntoday)