Harmoni Budaya Nusantara
Ruang Satu
Satu demi satu rangkaian peringatan Hari Jadi ke-105 kota kita tercinta digelar. Peringatan kali ini memang berbeda. Kita sudah diperbolehkan menggelar acara yang menghadirkan massa. Seperti gelaran Madiun Carnival 2023 yang baru saja terlaksana. Alhamdulillah, kegiatan berlangsung lancar dan sukses. Saya cukup senang. Kegiatan bertajuk Harmoni Budaya Nusantara bukan hanya menjadi sarana hiburan. Tetapi juga ajang unjuk gigi kreativitas masyarakat kita.
Ada sebanyak 67 peserta dari lembaga sekolah dan instansi dengan lebih dari seribu penampil. Saya senang peserta tampil totalitas. Baik dari kostum maupun aksinya. Mereka berhasil menyajikan berbagai kemeriahan. Tak heran, jika kegiatan menarik ribuan pengunjung. Ada ribuan yang datang. Yang tidak sempat hadir menyaksikan dari tayangan live streaming. Dari data analitik, yang melihat tembus 31 ribu penonton. Ini luar biasa. Kota kita bukan hanya menarik secara fisik. Tetapi juga menarik dari gelaran-gelaran event seperti ini.
Kota ini semakin lama usianya semakin tua. Usia boleh tua, tetapi penampilan harus muda. Harus selalu menghadirkan kreativitas dan inovasi-inovasi. Madiun Carnival ini bukan sekedar hiburan semata. Tetapi juga ajang kreativitas bagi kita semua. Saya tidak hanya memberangkatkan peserta. Saya juga ikut dalam iring-iringan pawai. Sengaja saya diurutan terakhir. Saya juga ingin menyapa masyarakat yang sudah hadir secara langsung. Ternyata antusiasnya memang luar biasa. Masyarakat tumplek blek di sepanjang rute karnaval. Makin sore masyarakat makin ramai.
Ada masyarakat yang berceletuk, pak wali kayak londo. Bersama ibu Ketua Tim Penggerak PKK Kota Madiun, kami memang mengenakan baju era kolonial. Saya sengaja mengenakan pakaian itu karena ingin menghidupkan sejarah. Ya pakaian yang saya dikenakan merupakan seragam kebesaran Wali Kota pertama Kota Madiun. Artinya, pakaian khas bangsawan Belanda 105 tahun yang lalu. Saya berharap apa yang saya dikenakan itu bisa menjadi pengingat awal lahirnya kota kita tercinta. Ya, lahirnya kota ini memang tak terlepas dari hadirnya bangsa Belanda di negeri kita ini.
Berdirinya Pemerintah Kota Madiun dapat dipelajari dari sisa peninggalan sejarah, baik berupa barang, adat istiadat maupun lembaga-lembaga. Pun, sejarah singkat tentang kota kita ini selalu dibacakan pada saat upacara dan rapat paripurna peringatan Hari Jadi. Apa yang sudah berlalu biarlah berlalu. Apa yang sudah lewat memang tidak bisa diubah. Tetapi kita bisa belajar dari masa lalu untuk mewujudkan perubahan di masa depan. Karenanya, kita tidak boleh meninggalkan sejarah. Apa yang sudah berlalu wajib jadi pembelajaran.
Tak terkecuali sejarah kota kita tercinta ini. Sebelum meletus Perang Diponegoro, kota kita ini belum pernah dijamah orang-orang Belanda atau Eropa lainnya. Setelah perang berakhir, orang Belanda menjadi tahu potensi daerah kita ini. Terhitung mulai 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai Pemerintahan Hindia Belanda. Dari itu dibentuklah suatu tatanan Pemerintahan yang berstatus Karesidenan dengan ibukota di Desa Kartoharjo. Itu dulu merupakan tempat istana Patih Kartoharjo. Tempat itu berdekatan dengan istana Kabupaten Madiun di Desa Pangongangan.
Sejak saat itu mulailah berdatangan bangsa Belanda dan Eropa lain. Mereka kebanyakan berprofesi di bidang perkebunan dan perindustrian. Tak heran, kemudian banyak muncul berbagai perkebunan di Madiun dan sekitar. Seperti perkebunan teh di Jamus dan Dungus, kopi di Kandangan dan tembakau di Pilangkenceng serta lainnya. Mereka ini lantas bermukim di dalam kota di sekitar Istana Residen Madiun.
Semua warga Belanda dan Eropa yang bermukim di Kota Madiun, merasa lebih superior dan berusaha melaksanakan pemisahan sosial. Berangkat dari itu kemudian muncul Kota Praja Madiun tepat 20 Juni 1918 atau 105 tahun yang lalu. Wali kota pertama adalah Mr. K. A. Schotman. Pakaian yang saya pakai pada waktu karnaval persis dengan apa yang dikenakan beliay. Tepat pada tanggal Hari Jadi lalu ada yang mengulasnya di surat kabar.
Wali Kota Schotman adalah orang Belanda kelahiran Utrecht, 1878. Kebetulan beliau juga berlatar belakang seorang pengajar. Menurut penulis Wali Kota Schotman merupakan sosok pekerja keras, sangat rajin, banyak ide dan inisiatif. Pada masa kepemimpinannya, berbagai infrastruktur pemerintahan dan publik dibangun. Di antaranya, Balai Kota Madiun yang sampai saat ini masih bisa kita jumpai. Beliau juga banyak membangun infrastruktur jalan. Di antaranya sekarang menjadi Jalan Sulawesi dan Jalan Panglima Sudirman.
Apa yang dilakukan Wali Kota Schotman ini patut untuk ditiru. Pembangunan yang dihadirkan wajib bermuara pada kemajuan. Saya juga terus berupaya seperti itu. Pembangunan di Kota Madiun ini baru 60 persen dari yang saya inginkan. Masih ada banyak ide dan keinginan yang belum terealisasi. Kota Madiun masih akan memiliki perubahan besar. Tempat-tempat ikonik masih akan kita dimunculkan. Salah satunya, PeceLand.
Ya, rencana pembangunan miniatur Kota Madiun itu memang sudah pernah mengemuka. Saya berencana membangun miniatur Kota Madiun di Nambangan Lor tepatnya di depan kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian. PeceLand memang proyek besar. Pun, sudah ada beberapa investor yang tertarik berkolaborasi. Kawasan itu juga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kota kita tercinta ini.
Kota ini wajib terus berubah. Wajib terus menghadirkan sesuatu yang baru. Hal itu penting untuk menarik wisatawan. Apalagi, kita tidak banyak memiliki sumber daya alam. Karenanya, dari segi pembangunan harus kita maksimalkan. Kota ini akan mati tanpa ada orang yang datang berkunjung. Pembangunan harus semakin menarik orang untuk datang. Ini demi kemajuan kota kita. Demi mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Penulis adalah Wali Kota Madiun Drs. H. Maidi, SH, MM, M.Pd