Bisnis Kebahagiaan
Ruang satu
Kota kita kembali menjadi pilihan pemerintah pusat. Minggu (16/7) kemarin, kota kita menjadi tuan rumah gelaran program Beli Kreatif Desa Wisata (Beti Dewi) Naik Kelas. Kegiatan itu merupakan program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mas Menterinya tentu saja hadir. Saya dengan mas Sandiaga Salahuddin Uno juga berbincang banyak. Kita memang menjadi pembicara dalam sesi talkshow. Jadi ada banyak kegiatan dalam Beti Dewi Naik Kelas tersebut. Mulai dari pelatihan, pameran, dan talkshow.
Nah, ada yang menarik dalam kegiatan tersebut. Ada istilah bisnis kebahagiaan. Istilah ini mengemuka dari Direktur Pemasaran Pariwisata Nusantara Kemenparekraf bapak Dwi Marhen Yono. Saya sangat setuju. Bahkan, sudah melaksanakan itu di Kota Madiun. Dunia pariwisata memang harusnya berurusan dengan kebahagiaan. Tak salah kalau kemudian dunia pariwisata adalah bisnis kebahagiaan. Jadi kalau orang yang berwisata tidak bahagia, artinya mereka itu belum berwisata.
Saya rasa berwisata dimanapun prinsipnya sama. Wisatawan mencari kebahagiaan. Mindset itu yang harus selalu ditanamkan. Kebahagiaan itu bisa didapat dari mana saja. Bisa dari keindahan tempatnya, kenikmatan kulinernya, atau juga dari pelayanannya. Nah, yang terakhir bisa menjadi kunci. Seberapa baguspun tempatnya, seberapa nikmatpun kulinernya, kalau pelayanan kurang menarik, semuanya bisa buyar. Orang tak jadi bahagia. Hanya gara-gara pelayanannya. Mulai kurang ramah, tidak mau senyum, atau pelayanan tak menyenangkan lainnya.
Karenanya, sering saya katakan. Sering saya instruksikan. Mulai dari tataran paling bawah. Salah satunya, kepada juru parkir. Saat memberikan arahan kepada jukir, saya tekankan untuk memberikan pelayanan yang ramah. Jukir bukan sekedar memberikan pelayanan parkir. Tetapi sebagai pelayanan garda terdepan. Saat wisatawan datang dengan berbagai kendaraannya, jukirlah yang menyambut kali pertama. Jukir harus memberikan kesan terbaiknya. Setelah itu, terserah anda.
Sebaliknya, saat kesan pertama sudah tidak menyenangkan, bisa jadi ke belakangnya juga meninggalkan kesan yang tidak baik. Tujuan wisata untuk berbahagia tidak tercapai. Pelayanan yang ramah dari para jukir ini tidak hanya untuk kebaikan dunia pariwisata kota kita. Tetapi, juga untuk kebaikan jukir itu sendiri. Saya pernah mencermatinya. Sengaja saya tidak turun dari dalam kendaraan. Kebetulan di dekat tempat makan yang cukup ramai. Di situ ada jukirnya. Saya perhatikan benar. Si jukir memberikan pelayanan yang cukup baik. Ada sapaan saat menyambut pengunjung kali pertama kali.
Kendaraan kemudian ditata yang rapi. Saat hendak pergi, kendaraan juga disiapkan sesuai arah jalan. Pelayanan ditutup dengan sapa selamat jalan. Ada kebahagiaan tersirat dari wajah pengunjung. Kepuasaan terlihat jelas. Hal itu juga dibuktikan dengan uang parkir yang dilebihkan. Tidak mau diberikan kembalian. Yang diberikan juga tidak sedikit. Saya lihat ada pecahan Rp 20 ribu. Padahal bayar parkir hanya seribu rupiah. Pengunjung itu ikhlas tidak perlu kembalian karena pelayanan yang maksimal.
Saya sangat setuju dengan pak Dwi Marhen Yono tentang wisata adalah bisnis kebahagiaan. Orang yang bahagia, uang bukan jadi kendala. Mereka tidak akan mempersoal harus mengeluarkan uang lebih besar dari biasanya kalau sudah bahagia. Yang lebih menariknya, itu akan meninggalkan kesan yang baik. Akan sangat menguntungkan kalau kemudian itu turut dipromosikan kepada yang lain. Biasanya seperti itu. Saat kita memiliki pengalaman yang menyenangkan akan dibagi-bagikan. Itu promosi gratis yang mengena. Mereka yang penasaran akan datang membuktikan. Padahal itu baru dari satu pelayanan. Yakni, pelayanan parkir.
Berbagai capaian yang kita dapat memang tidak ada artinya kalau kemudian banyak kesan jelek tentang kota kita. Terlebih dari segi pelayanan. Masyarakat harus ramah. Yang pedagang juga harus memberikan pelayanan yang optimal. Kita harus berlomba memberikan kesan yang baik dan nyaman. Ini bukan hanya untuk kemajuan usaha yang dijalani. Atau demi dagangan yang laris manis terbeli. Tetapi juga untuk kemajuan kota kita melalui peningkatan ekonomi.
Seperti yang disampaikan mas Menteri Parekraf, tidak perlu ke berbagai luar negara kalau di Kota Madiun sudah ada. Ya, kita sudah punya wisata enam negara tanpa visa. Ini adalah potensi luar biasa. Dari keberadaannya, perputaran uang mencapai Rp 1,5 miliar setiap bulannya. Jangan sampai apa yang sudah baik ini kemudian semakin menurun apalagi terjun bebas. Kita harus sama-sama menjaganya. Harus semakin meningkatkannya. Ini butuh peran kita bersama. Masyarakat juga harus berpartisipasi memajukan dunia wisata kita.
Pemerintah pusat melalui berbagai kementerian sudah memberikan apresiasinya. Kita sebagai tuan rumah harus bangga. Caranya ya dengan ikut memajukannya. Jangan sebaliknya. Memberikan kesan buruk kepada masyarakat luar. Ini penting saya sampaikan. Apalagi, saat ini mendekati bulan Suro. Bulan yang dimana masih menyisakan kesan seram di kota kita. Ini harus kita hilangkan. Tidak ada lagi dredek Suro. Yang ada aman Suro. Berbagai event juga kita hadirkan. Salah satunya, wisata pendekar. Ini penting apalagi, seni budaya menjadi salah satu pilihan wisatawan manca negara saat ini.
Mereka sudah tidak lagi mencari tempat yang menarik. Mereka sudah mencari kebahagiaan dari kesenian. Selain itu juga kuliner lokalnya. Kita punya potensi itu. Kita punya pencak silat yang luar biasa. Kita punta kuliner pecel yang mendunia. Ini merupakan peluang besar. Tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Membiarkannya begitu saja atau menggarapnya serius untuk kemajuan bersama.
Penulis adalah Wali Kota Madiun Drs. H. Maidi, SH, MM, M.Pd