Doktor Ilmu Sosial



Ruang Satu

Nama saya hanya satu kata. Maidi. Mungkin banyak yang tidak percaya. Tetapi memang begitulah adanya. Salah seorang yang meragukan nama saya adalah bapak Dahlan Iskan. Ya, saya pernah diminta menjadi bintang tamu dalam acara podcast beliau beberapa waktu yang lalu. Sebelum memulai pertanyaan yang berat-berat, beliau memastikan dulu bahwa nama saya hanyalah satu kata, Maidi. Dengan tegas saya jawab, iya. Hanya, Maidi. Pertanyaan itu kemudian berlanjut mengapa orang tua saya menamai dengan hanya satu kata? 

Ya tentu, setiap orang tua memiliki alasan tersendiri. Tetapi bagi orang tua saya, nama yang diberikan kepada anak-anaknya bukan hanya sebuah doa. Namun, juga sebagai harapan sekaligus pelecut semangat agar anaknya termotivasi menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya. Dulu, saya juga pernah menanyakan itu kepada ayah saya. Beliau dengan tegas menjawab, lak pengen dowo, dawakno dewe (kalau ingin panjang, panjangkan sendiri). Ayah saya sengaja memberikan nama yang pendek dengan harapan saya bisa menambahkannya sendiri. Caranya dengan mengenyam berbagai pendidikan hingga lulus dan mendapatkan gelar. 

Nama saya memang hanya satu kata. Tetapi kalau nama beserta gelar yang saya pernah dapatkan ditulis lengkap, bisa jadi lebih panjang dari nama anak-anak sekarang. Itulah hebatnya orang tua dulu. Khususnya dalam hal mendidik dan memotivasi anak. Berkat motivasi di balik makna pemberian nama Maidi itu, Alhamdulillah, saya berhasil menamatkan dua gelar sarjana strata I, dua gelar sarjana strata II, dan satu gelar doktoral. Ditambah dengan gelar ibadah haji, nama saya sekarang sudah lebih dari lima kata. Kalau bukan motivasi dari ayah saya, mungkin nama Maidi tidak pernah bisa sepanjang ini. 

Namun, harapan orang tua saya tentu bukan sekedar mendapatkan gelar demi memperpanjang nama. Tetapi bagaimana saya bisa memiliki ilmu yang seluas-luasnya. Ilmu yang berguna dan bermanfaat di masa depan. Ilmu yang akan menjaga dimanapun berada. Ilmu yang akan menjaga dari kelaparan, kemiskinan, upaya kejahatan, dan lain sebagainya. Orang bodoh dekat dengan kemiskinan. Orang tua saya tentu tidak mau itu terjadi pada anak-anaknya. Karenanya, beliau ingin saya mengenyam pendidikan yang tinggi dan sebanyak-banyaknya. Cuma, cara memotivasinya berbeda. Dengan memberi nama satu kata tadi. 

Motivasi luar biasa itu saya rasakan benar manfaatnya sekarang. Terlepas saat ini saya menjadi Wali Kota Madiun, ilmu yang saya tempuh telah membantu saya dalam banyak hal. Mulai saat menjadi guru, kepala sekolah, kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), hingga menjadi Sekda Kota Madiun. Belum lagi dalam urusan usaha yang saya jalankan. Kalau ilmu saya tidak tinggi, mungkin, sudah sering kena tipu orang. Inilah definisi ilmu pengetahuan akan menjaga kita dari upaya kejahatan tadi. Pendidikan itu akarnya itu pahit, tetapi buahnya manis. Siapa yang sabar menahan pahitnya proses pendidikan, maka akan menuai manisnya di masa depan. 

Banyak yang bertanya, kenapa masih mau mengambil kuliah doktoral padahal sudah menjadi wali kota? Justru karena saya seorang pemimpin, saya harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Saya harus menguasai banyak ilmu dan wawasan. Jabatan yang tinggi memang membuat nyaman. Jangan sampai kita terlena karenanya. Jabatan dan harta benda, bisa hilang dengan sendirinya. Datang tidak permisi, pergipun sesuka hati. Tetapi ilmu pengetahuan akan kita bawa sampai mati. Bahkan, bisa menjadi amal jariyah tatkala ilmu itu bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Selain itu, bukankah kita diminta untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Kita harus terus belajar sampai datang kematian. 

Lagi pula, bagaimana bisa memimpin dengan baik kalau tidak punya banyak pengalaman dan ilmu pengetahuan. Semua itu merupakan penyemangat saya dalam menempuh S3 ini. Biarpun itu tidak mudah. Akar pendidikan yang pahit itu saya rasakan benar. Jangan dikira karena saya wali kota, perkuliahan akan mudah atau dosen akan banyak memberikan kelonggaran. Ada juga dosen yang killer. Dosen kalau professor, killer-nya beda. Sulit ditawar. 

Saya pernah tidak lulus kuliah filsafat. Tetapi saya ambil sisi positifnya. Dengan mengulang, berarti ada lebih banyak kesempatan untuk bertemu para dosen. Bisa menyerap lebih banyak ilmu dari para professor tadi. Bukan hanya urusan mata kuliah yang tidak mudah, urusan kehadiran juga bisa jadi masalah. Dari 12 kali pertemuan, toleransi ketidakhadiran hanya tiga kali. Kalau saya hanya masuk delapan kali, langsung tidak lulus. Sementara ada banyak tugas sebagai wali kota yang juga tidak bisa ditinggalkan. 

Pernah ada agenda di Jakarta yang harusnya saya tempuh satu jam perjalanan dengan jalur udara. Tetapi perjalanan itu akhirnya ditempuh delapan jam melalui jalur darat. Itu karena saya harus mengikuti kuliah secara daring. Kalau naik pesawat, saya tidak boleh online. Makanya, pilih jalur darat. Pernah juga saya harus mengikuti kuliah sambil takziah. Sambil mengantarkan jenazah ke makam, saya mendengarkan paparan. Caranya dengan memakai earphone. Yang penting kuliah tidak ditinggalkan, kegiatan sosial tetap berjalan. 

Saya mengambil program studi administrasi publik dalam kuliah doktoral ini. Alhamdulillah, lulus tepat waktu. Enam semester. Mata kuliah yang mengulang, bisa saya kejar. Ujian terbuka saya berlangsung di Jakarta, Selasa 21 November lalu. Alhamdulillah, saya lulus dengan predikat sangat memuaskan. Saya juga doktor pertama ilmu administrasi publik dari Universitas Terbuka. Belum ada yang mengambil prodi itu di UT sebelumnya. Administrasi publik mungkin akan terasa membosankan bagi sebagian orang. Sebab, ini merupakan definisi ilmu sosial yang mengkaji sistem ketatanegaraan suatu negara dan segala sesuatu yang berhubungan dengan publik yang mencakup organisasi publik, kebijakan publik, manajemen publik, dan pelayanan publik. Karenanya, ada yang bilang doktor ilmu sosial.

Namun, bagi saya ilmu sosial ini sangatlah penting. Sebagai wali kota, saya adalah pelayanan masyarakat, pelayan publik. Saya harus mempelajari ilmu tentang publik agar pelayanan yang saya berikan bisa optimal. Selain itu, saya ingin menilai kebijakan yang sudah berjalan di kota kita. Apa yang menjadi disertasi saya adalah kebijakan-kebijakan yang sudah berjalan di Kota Madiun. Khususnya kebijakan terkait program smart city. Secara mudahnya, saya praktik dulu, baru kemudian teorinya saya tuangkan dalam disertasi. Ternyata hasilnya sangat memuaskan penguji. Secara tidak langsung, kebijakan yang saya ambil untuk kota kita sudah tepat. 

Apa yang saya lakukan ini seperti yang dilakukan Thomas Woodrow Wilson, Presiden ke-28 Amerika Serikat. Saya memang terinspirasi dari beliau. Presiden Thomas Woodrow Wilson merupakan peraih Nobel Perdamaian pada 1919. Itu atas jasanya mendirikan Liga Bangsa-Bangsa usai perang dunia pertama. Sikap progresifnya terhadap kebijakan luar negeri kemudian dikenal sebagai Wilsonianisme. Dalam kepemimpinanya, beliau juga dinilai berhasil membawa Amerika Serikat menjadi negara maju. Nah, teori dan kebijakan beliau kemudian menjadi sistem yang banyak diterapkan. Saya juga ingin seperti itu. Siapa tahu, kebijakan yang saya ambil bisa menjadi percontohan bagi yang lain. Tatkala ilmu saya ini semakin banyak memberikan manfaat, berarti menjadi amal jariyah hingga di akhirat kelak. 


Penulis adalah Wali Kota Madiun Dr. H. Maidi, SH, MM, M.Pd