Shibuya dan Budayanya
Ruang Satu
Ada kisah menarik di Distrik khusus Shibuya Kota Tokyo, Jepang. Apa lagi kalau bukan kisah Hachiko, si anjing setia itu. Pekan ini saya memang tengah berada di Jepang. Salah satu agendanya mengunjungi kantor Google di Jepang. Kebetulan lokasinya ada di Distrik Shibuya. Kurang afdal rasanya kalau tidak mampir ke stasiun Shibuya dan melihat patung Hachiko itu. Kisah anjing yang setia menunggu majikannya itu memang sampai difilmkan.
Saya memang tidak begitu mengetahui pasti kisahnya. Tetapi yang saya dengar, Hachiko rutin menjemput sang majikan di depan stasiun. Bahkan hal itu tetap dilakukan meski sang majikan telah meninggal. Hachiko setia sampai akhir hayatnya. Untuk menghargai kesetiaannya, di depan stasiun Shibuya didirikan patung Hachiko. Nah, patung itu kini sangat terkenal. Kemarin, hanya untuk berfoto dengan patung tersebut harus mengantri. Wisatawan tak pernah sepi di kawasan itu. Mungkin itu hanya sebuah patung. Tapi ada pelajaran berharga dibaliknya. Yakni, tentang kesetiaan.
Bukan hanya itu yang bisa kita petik. Mungkin kita bisa mengambil konsep penataannya. Bagaimana orang bisa semakin tertarik untuk datang. Yang sudah datang, bagaimana agar mereka nyaman sehingga betah berlama-lama. Lebih jauh lagi, mereka sudi untuk kembali. Saya yakin dari sekian banyak wisatawan di sana, ada yang datang untuk kedua kalinya atau bahkan lebih. Mungkin bukan hanya karena patung Hachiko dan kisahnya. Tetapi bisa juga dari budaya masyarakatnya.
Mungkin tempatnya biasa, tetapi wisatawan betah dan ada keinginan untuk datang lagi karena merasa nyaman. Nyaman karena masyarakatnya yang ramah dan sopan. Masyarakat negeri Sakura memang dikenal sopan dan ramah juga tertib dan disiplin. Mereka saling menghargai satu dengan lainnya. Kalau merasa telah dibantu, tak segan memberikan ucapan terima kasih dengan membungkukkan badannya. Kita bisa meniru budaya positif yang seperti itu.
Kita sudah memiliki tempat yang menarik. Pahlawan Street Center (PSC) salah satunya. Kawasan itu ramai dikunjungi wisatawan setiap harinya. Kita harus menjaga keberlangsungannya ke depan. Tempat-tempat wisata yang kita miliki harus selalu ramai seperti itu. Wisatawan harus dibuat nyaman agar mereka sudi kembali datang. Untuk membuat nyaman itu bukan hanya dari fasilitas. Bisa juga dari bagaimana sikap kita terhadap tamu. Kalau kita sopan dan ramah, tamu akan betah. Budaya seperti itu yang harus terus kita kedepankan.
Juga tertib dan disiplin. Saya juga melihat itu di Shibuya. Di sana distrik yang cukup sibuk. Tetapi sangat rapi. Saya melihatnya sendiri di kawasan Shibuya Crossing atau persimpangan Shibuya. Letaknya di barat laut Stasiun Shibuya. Tempat itu cukup terkenal karena sering menjadi lokasi pembuatan film. Selain itu, juga dikenal dengan persimpangan paling sibuk di dunia. Ada ribuan pejalan yang menyeberang. Biarpun begitu, sangat rapi dan tertib.
Saya juga ingin menerapkannya di kota kita. Khususnya di kawasan PSC. Di tempat itu memang ada penyeberangan kasih sayang. Pun, sudah dilengkapi dengan tombol pelican cross. Namun, kurang maksimal karena banyaknya masyarakat yang menyeberang. Kalau di Shibuya berbeda. Tidak memakai sistem tombol tetapi memakai sistem waktu. Pun, ternyata sistem timer bergantian sangat efektif. Saya optimis juga akan efektif jika terapkan di Penyebrangan Kasih Sayang kita. Tidak setiap waktu, tetapi di jam ramai saja. Pejalan kaki nyaman, arus lalu lintas juga lancar.
Selain kawasan yang tertib, di sana juga tidak banyak tempat sampah. Tetapi juga tidak ada sampah berserakan. Kotanya bersih. Ini tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa masyarakatnya yang tertib dan disiplin. Yang bersih ini bukan hanya kawasan pedestrian. Tetapi juga sungai dan salurannya. Kebetulan saya juga mengunjungi Shibuya River. Sungai tersebut berada di antara gedung-gedung tinggi. Meski begitu, sungainya bersih dan airnya jernih. Tidak ada sampah disepanjang mata bisa memandangi aliran. Ini hebat. Ini bisa menjadi daya tarik tersendiri.
Kita juga punya sungai seperti itu. Kita punya sungai Sumber Umis. Sungai ini juga berada di jantung kota. Berada di kawasan wisata. Mungkin sungai kita belum bisa seperti Shibuya River. Tetapi kita bisa menirunya. Sungai sebagai saluran pembuangan tidak kita hilangkan. Tetapi bisa kita optimalkan dengan dijadikan tempat wisata. Saya sudah berangan sungai itu kita tutup bagian atasnya. Itu sebagai pembatas aliran di bawahnya. Yang bagian atas, kita buat aliran baru tetapi yang bersih dan airnya jernih. Harapannya bisa menjadi objek wisata baru. Saya optimis orang akan semakin betah dan sudi untuk kembali.
Tertib membuang sampah pada tempatnya ini bukan hanya menjadikan sungai jadi bersih. Tetapi membuat aliran jadi lancar. Beberapa waktu lalu, petugas gabungan dari Dinas Pekerjaan Umum dan BPBD saya instruksikan untuk turun menyusuri saluran. Salah satu, titiknya di kawasan Jalan Gayam. Laporan yang saya terima ada banyak sampah di saluran itu. Khususnya di saluran yang berada di kawasan Jalan Sulawesi. Ada banyak sampah rumah tangga. Setiap kali dibersihkan pasti sampahnya datang lagi. Kecil kemungkinan sampah itu bisa masuk saluran tanpa ada yang membuangnya.
Ada juga yang di aliran Kali Sono. Di sana malah lebih ekstrem lagi. Ada sampah kasur tidur. Untuk mengangkatnya sampai pakai alat berat. Masak iya kasur sebesar itu bisa hanyut dengan sendirinya. Kota kita itu berada di dataran rendah. Tempat tujuan aliran air. Kalau saluran banyak sampah dampaknya bisa fatal. Kita sudah berupaya melebarkan saluran. Juga mengeruk sedimennya agar aliran lancar. Tetapi kalau ada banyak sampah, upaya itu seakan percuma. Hujan masih sering turun dengan intensitas tinggi. Jangan sampai terjadi genangan apalagi banjir. Tentu ini perlu upaya kita semua. Ini kota kita, mari kita jaga bersama.
Penulis adalah Wali Kota Madiun, Dr. Drs. H. Maidi, SH, MM, M.Pd